Beternak cacing atau budidaya cacing, mungkin
masih menjadi kegiatan aneh, dan belum familiar
di telinga masyarakat pada umumnya dikarenakan Cacing Lumbricus rubellus selama ini dipandang sebagai hewan menjijikkan. Cacing tanah spesies Lumbricus rubellus merupakan
jenis cacing yang sangat potensial untuk dibudidayakan. Pasalnya jenis cacing
ini memiliki pertumbuhan lebih cepat dibanding dengan jenis cacing lainnya.
Selain itu, cacing tanah ini juga tergolong mudah pemeliharaan dan perawatannya
karena bisa berkembang di media limbah organik. Sehingga tidak mengherankan
jika budidaya tersebut potensial untuk dimanfaatkan dalam dunia pertanian dan
kewirausahaan, serta industri farmasi. Dalam
industri farmasi cacing ini banyak digunakan sebagai bahan obat dan bahan
kosmetik. Bahkan permintaan akan cacing tanah terus meningkat untuk memenuhi
kebutuhan produksi dalam jumlah besar. Meskipun demikian, ketersediaan cacing
tanah jenis ini masih terbatas dengan harga relatif mahal karena belum banyak
yang melakukan budidaya.
Melihat kondisi tersebut, 5
mahasiswa UNWAHAS dari Fakultas Pertanian Program Studi Agribisnis yaitu Aderia Puspita Ningrum, Dessriana Eka Widi Astuti, M. Muntaha, M. Masdar
Isbulloh, dan M. Najib Anshori mencoba peluang usaha budidaya Cacing Lumbricus rubellus melalui Program
Kreativitas mahasiswa bidang Kewirausahaan yang berjudul “MBAH
SAMTAH
(Limbah Sayuran dan Ampas
Tahu)
Sebagai Pakan Alternatif Usaha Budidaya Cacing Lumbricus rubellus
. “Budidaya Cacing Lumbricus rubellus ini masih sangat
jarang dilakukan. Kebanyakan orang menganggap bahwa cacing tanah merupakan
binatang yang menjijikkan. Padahal cacing ini berpotensi untuk dikembangkan
karena manfaatnya dalam bidang medis dan kecantikan sehingga dapat menjadi
peluang usaha yang prospektif,” kata Aderia Puspita (Selaku Ketua PKMK), Kamis (5/7) di Kampus UNWAHAS.
Masdar Isbulloh
mengungkapkan dari 1 ekor cacing dewasa mampu memproduksi 10-20 anakan setiap
10 hari. Sehingga dalam 1 tahun bisa menghasilkan 1.000 anakan. “Dari
pengalaman 1 kg cacing tanah dalam 3 bulan bisa berkembang menjadi sekitar 8 kg
cacing tanah,”jelasnya. Menurutnya,
usaha budidaya cacing tanah ini cukup prospektif karena ditinjau dari kebutuhan
pasar yang pada saat ini masih kekurangan ketersedian bahan baku cacing untuk
menyuplai produsen kosmetik maupun farmasi. Dalam satu periode pemanenan atau sekitar
3 bulan dengan 20 kg indukan cacing tanah akan menghasilkan 160 kg cacing
tanah. Sementara harga perkilogram cacing ini mencapai Rp. 50 ribu. “Dalam
waktu 3 bulan bisa menghasilkan omset sekitar Rp. 8 juta,” ujarnya.
Muntaha menambahkan bahwa
dalam melakukan budidaya cacing tanah tidak terlalu rumit dalam pemeliharaan
maupun perawatan, sehingga hal tersebut menjadikan budidaya cacing mudah untuk
dikembangkan. Pemberian makan cacing cukup dengan memanfaatkan limbah sayuran
dan ampas tahu yang berada di sekitar tempat budidaya yaitu Green House Fakultas Pertanian UNWAHAS.
Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak negatif limbah media bekas cacing
(kascing) dengan memanfaatkanya sebagai pupuk kompos. “Limbah ini dapat diolah
menjadi pupuk kompos cacing (kascing). Biasanya pupuk ini dijual di pasaran
mencapai Rp. 10.000 per kilogramnya,” urainya.
Pemasaran Cacing Lumbricus rubellus hasil budidaya kami
untuk sementara ini tengah membangun kerja sama dengan apotik UNWAHAS secara langsung.
Selain itu, kami juga mempromosikan hasil budidaya cacing kami ke beberapa
peternak diantaranya peternak ikan, peternak unggas, kolam pemancingan dan toko
pakan hewan. Kami juga memanfaatkan media jejaring sosial serta akan mengikuti events seperti pameran untuk lebih memperkenalkan
hasil budidaya cacing kami. “Rencana kedepannya kami akan mendirikan asosiasi
peternak cacing di berbagai daerah untuk memperkuat jaringan pasar dan menekan
kompetitor, sehingga usaha budidaya cacing ini akan terus berkembang,” tutup (Dessriana
Eka).