Perkembangan bank syariah di Indonesia saat ini patut di apresiasi. Aset meningkat, jumlah nasabah bertambah, dan dukungan yang semakin kuat. Namun di balik kemajuan tersebut, muncul pertanyaan sederhana: apakah bank syariah telah menerapkan nilai-nilai syariah, atau masih berhenti hanya pada label?
Syariah bukan sekadar identitas formal yang tercantum pada papan nama atau produk. Ia adalah seperangkat nilai dan prinsip Islam yang menuntut keadilan, terbuka, dan berpihak pada kemaslahatan. Ketika prinsip tersebut tidak sepenuhnya terwujud dalam praktik, maka label “syariah” berpotensi kehilangan maknanya.
Dalam praktik perbankan, sebagian produk bank syariah masih dipersepsikan masyarakat tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Skema pembiayaan, perhitungan margin, hingga mekanisme denda kerap dinilai menyerupai sistem bunga yang dibungkus dengan istilah syariah. Persepsi ini, benar atau tidak, menjadi alarm penting bagi industri perbankan syariah untuk melakukan evaluasi.
Hakikat bank syariah terletak pada prinsip bagi hasil, larangan riba, gharar, dan maisir, serta komitmen pada keadilan ekonomi. Bank syariah seharusnya tidak hanya mengejar keuntungan finansial, tetapi juga memastikan bahwa aktivitas bisnisnya membawa dampak sosial yang positif. Pembiayaan sektor produktif, dukungan terhadap UMKM, serta keberpihakan pada kelompok rentan adalah wujud nyata dari nilai tersebut.
Tantangan terbesar bank syariah saat ini bukan sekadar ekspansi pasar, melainkan menjaga konsistensi antara prinsip dan praktik. Dalam iklim persaingan yang ketat, godaan untuk meniru pola konvensional demi efisiensi dan keuntungan jangka pendek sangat besar. Namun jika itu yang terjadi, maka bank syariah berisiko kehilangan diferensiasi dan kepercayaan publik.
Peran Dewan Pengawas Syariah (DPS) menjadi sangat strategis. Pengawasan tidak boleh berhenti pada aspek kepatuhan administratif, tetapi harus menyentuh substansi. DPS dituntut berani memberikan koreksi, bahkan penolakan, terhadap produk atau kebijakan yang menyimpang dari ruh syariah, meskipun secara bisnis tampak menguntungkan.
Selain itu, literasi keuangan syariah masyarakat juga perlu terus diperkuat. Nasabah yang paham prinsip syariah akan menjadi pengontrol sosial yang efektif. Mereka tidak hanya bertanya soal keuntungan, tetapi juga soal kehalalan proses dan keadilan transaksi. Di sinilah bank syariah ditantang untuk bersikap jujur dan transparan.
Ke depan, bank syariah harus berani melangkah lebih jauh dari sekadar label. Inovasi produk perlu diarahkan pada solusi ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Digitalisasi dan teknologi finansial seyogianya dimanfaatkan untuk memperluas akses, bukan sekadar meningkatkan efisiensi internal.
Bank syariah bukan sekadar alternatif dari bank konvensional, melainkan tawaran sistem ekonomi yang berlandaskan nilai moral. Jika nilai tersebut benar-benar dihidupkan, bank syariah tidak hanya akan tumbuh secara angka, tetapi juga bermakna bagi umat dan bangsa. Tanpa itu, label syariah berisiko menjadi simbol kosong yang kehilangan ruhnya.