Perkembangan teknologi digital telah mendorong lahirnya berbagai inovasi dalam
bidang ekonomi, salah satunya adalah aset kripto (cryptocurrency). Sebagai instrumen yang
menggunakan teknologi blockchain dan bersifat terdesentralisasi, aset digital ini menawarkan
cara baru dalam bertransaksi, berinvestasi, dan menyimpan nilai. Namun demikian, kehadiran
kripto menimbulkan beragam perdebatan, terutama dalam kerangka hukum ekonomi syariah
yang memiliki prinsip-prinsip khusus terkait kejelasan objek transaksi, larangan gharar, riba,
dan spekulasi berlebihan (maisir).
Dalam perspektif syariah, setiap instrumen ekonomi harus memenuhi unsur keadilan,
kemaslahatan, serta memiliki nilai dan manfaat yang jelas bagi masyarakat. Oleh sebab itu,
muncul pertanyaan fundamental: apakah aset kripto dapat dianggap sebagai harta (mÄl) yang
sah, dan bagaimana mekanisme transaksinya dinilai dalam hukum ekonomi syariah? Sebagian
ulama melihat kripto sebagai inovasi digital yang dapat diterima sepanjang memenuhi
ketentuan syariah, sementara sebagian lain menyoroti potensi spekulasi tinggi, ketidakjelasan
nilai intrinsik, dan risiko penyalahgunaan.
Pendekatan hukum ekonomi syariah terhadap aset digital menjadi penting untuk
dibahas karena menyangkut kepastian hukum bagi umat Muslim dalam berpartisipasi dalam
ekosistem ekonomi modern. Dengan menganalisis karakteristik kripto, dasar hukum syariah,
serta pandangan para ulama kontemporer, kajian ini berupaya memberikan gambaran yang
komprehensif mengenai posisi aset digital dalam kerangka ekonomi syariah.
Prinsip Dasar Syariah: Maqasid & Keadilan
Dalam hukum ekonomi syariah, setiap aktivitas muamalah harus berlandaskan pada
prinsip-prinsip mendasar yang memastikan tercapainya kemaslahatan dan terhindarnya
mudarat bagi masyarakat. Dua konsep utama yang menjadi fondasi dalam menilai suatu
instrumen ekonomi, termasuk aset digital, adalah Maqasid al-Syariah dan prinsip keadilan
(âadl).
- Maqasid al-Syariah sebagai Kerangka Tujuan Ekonomi Islam
Maqasid al-Syariah merujuk pada tujuan-tujuan pokok yang ingin dicapai oleh syariat
dalam mengatur kehidupan manusia. Dalam konteks ekonomi, maqasid berfungsi sebagai
pedoman untuk memastikan bahwa setiap transaksi memberikan manfaat nyata dan tidak
bertentangan dengan nilai-nilai syariah. Lima tujuan utama maqasidâpemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan hartaâmenjadi dasar bagi penilaian terhadap instrumen ekonomi
modern seperti cryptocurrency.
Terkait aset digital, maqasid mendorong agar teknologi ekonomi baru memberikan
kemaslahatan (maslahah) seperti efisiensi, keamanan transaksi, dan akses finansial yang lebih
luas. Namun, mqasid juga menuntut penilaian kritis terhadap potensi mudarat seperti penipuan,
volatilitas ekstrem, atau penyalahgunaan untuk aktivitas ilegal. Dengan demikian, maqasid
menjadi alat analisis penting dalam menentukan apakah keberadaan dan penggunaan aset kripto
sejalan dengan nilai-nilai syariah.
- Prinsip Keadilan (âAdl) dalam Transaksi Ekonomi
Keadilan merupakan pilar utama dalam sistem ekonomi Islam. Setiap transaksi harus
terhindar dari unsur ketidakadilan, baik dalam bentuk eksploitasi, ketidakjelasan, maupun
ketidakseimbangan manfaat antara para pihak. Prinsip keadilan menuntut adanya transparansi,
keterbukaan informasi, serta perbandingan risiko dan keuntungan yang proporsional.
Dalam konteks aset kripto, prinsip keadilan dikaitkan dengan sejauh mana kripto dapat
memberikan informasi yang jelas mengenai nilai, risiko, dan mekanisme transaksinya.
Blockchain memberikan transparansi melalui pencatatan publik, namun volatilitas harga yang
tinggi dapat menimbulkan potensi ketidakadilan jika digunakan dalam transaksi yang
memerlukan kestabilan nilai. Oleh karena itu, hukum ekonomi syariah menilai kripto tidak
hanya dari teknologinya, tetapi dari bagaimana teknologi tersebut mampu menciptakan
keadilan dalam transaksi nyata.
Unsur Garar & Spekulasi Ekstrem
Dalam hukum ekonomi syariah, larangan terhadap gharar
(ketidakjelasan/ketidakpastian yang merugikan) dan maisir (spekulasi atau perjudian)
merupakan prinsip penting untuk menjaga keadilan dan menghindarkan masyarakat dari
transaksi yang berisiko destruktif. Ketika menilai aset kripto, dua unsur ini sering menjadi
fokus karena volatilitas harga yang tinggi dan kompleksitas teknologinya.
- Gharar: Ketidakjelasan Objek Transaksi
Gharar merujuk pada ketidakpastian yang signifikan dalam suatu akad, baik terkait objek,
harga, maupun mekanisme transaksi. Dalam konteks kripto, beberapa aspek yang dinilai
berpotensi mengandung gharar antara lain:
a. Ketiadaan nilai intrinsik yang terikat pada aset fisik tertentu.
b. Ketidakjelasan fundamental yang menentukan harga; nilai kripto sering bergantung
pada permintaan pasar yang fluktuatif.
c. Kurangnya pemahaman publik tentang mekanisme blockchain, mining, tokenomics,
dan risiko teknis, sehingga menciptakan asimetri informasi.
d. Risiko teknologi seperti hacking, kegagalan sistem, atau rug-pull pada token tertentu
tanpa pengawasan regulator.
Meskipun demikian, sebagian pakar syariah berpendapat bahwa tidak semua bentuk
ketidakpastian otomatis termasuk gharar. Jika sifatnya minor, dapat diprediksi, dan tidak
menimbulkan penipuan, maka transaksi masih dapat diterima. Dengan demikian, gharar pada
kripto perlu dipetakan lebih spesifik: apakah termasuk gharar fahisy (besar dan dilarang) atau
gharar yasir (kecil dan ditoleransi).
- Spekulasi Ekstrem (Maisir) dalam Aset Kripto
Kripto dikenal memiliki volatilitas yang sangat tinggi, sehingga aktivitas
perdagangannya kerap menyerupai spekulasi ekstrem, terutama ketika dilakukan untuk
mendapatkan keuntungan instan tanpa mempertimbangkan nilai manfaat atau utilitas.
Unsur maisir dapat muncul ketika:
a. Kripto diperdagangkan hanya untuk mengejar profit jangka pendek tanpa dasar analisis,
mirip dengan perjudian pasar.
b. Investor mengandalkan keberuntungan dan melakukan high risk trading seperti futures
atau leverage trading yang meningkatkan risiko kerugian drastis.
c. Transaksi terjadi di pasar yang manipulatif (pump and dump, wash trading) sehingga
keuntungan satu pihak berasal dari kerugian pihak lain secara tidak adil.
Hukum syariah memandang maisir sebagai perilaku spekulatif yang destruktif, bukan
sekadar risiko bisnis biasa. Karena itu, evaluasi syariah terhadap kripto sangat
mempertimbangkan apakah penggunaannya mendorong perilaku produktif atau justru
mengarah pada aktivitas spekulatif yang merugikan.
- Batasan Syariah dalam Menilai Risiko Kripto
Dalam menilai gharar dan maisir, ulama kontemporer menekankan beberapa kriteria:
a. Transaksi harus memiliki transparansi penuh, termasuk informasi harga, risiko, dan
mekanisme token.
b. Tidak boleh ada ekspektasi keuntungan yang bergantung murni pada fluktuasi tanpa
dasar manfaat jelas.
c. Aset harus memiliki kegunaan atau utilitas yang nyata, seperti fungsi pembayaran,
akses layanan, atau peran dalam ekosistem blockchain.
d. Trading berlebihan yang menyerupai judi harus dihindari, sementara penggunaan yang
bersifat utilitarian dapat dipertimbangkan lebih netral dalam syariah.
Dengan demikian, keberadaan gharar dan spekulasi ekstrem bukan berarti seluruh aset kripto
otomatis haram, melainkan memerlukan penilaian yang cermat pada jenis kripto, tujuan
penggunaannya, dan mekanisme transaksinya.
Fatwa Modern & Sikap Otoritas
Kemunculan aset kripto sebagai fenomena global telah mendorong berbagai otoritas
keagamaan dan lembaga keuangan syariah di dunia Islam untuk memberikan penilaian hukum.
Sikap mereka tidak tunggal; sebagian memberikan ruang penerimaan dengan syarat tertentu,
sementara sebagian lain mengeluarkan larangan karena tingginya unsur gharar dan spekulasi.
Perbedaan ini mencerminkan dinamika ijtihad terhadap inovasi ekonomi yang belum dikenal
dalam fiqh klasik.
- Fatwa di Dunia Islam
Pandangan otoritas keagamaan internasional beragam, tergantung bagaimana mereka
menilai fungsi, manfaat, dan risiko kripto.
a. Otoritas yang Cenderung Melarang
Beberapa lembaga mengeluarkan fatwa larangan dengan alasan dominannya unsur gharar,
maisir, dan ketidakjelasan aset, di antaranya:
a. Dewan Fatwa Turki (Diyanet) menyatakan bahwa kripto tidak dapat digunakan sebagai
alat transaksi karena volatil, tidak memiliki dukungan aset, dan rawan penyalahgunaan.
b. Mufti Mesir (Dar al-Iftaâ) menyebutkan kripto mengandung bahaya ekonomi yang
besar dan menyerupai perjudian.
c. Saudi Arabia melalui otoritas keuangannya mengeluarkan peringatan keras dan
melarang perdagangan kripto secara resmi.
Alasan utama kelompok ini adalah: tidak adanya nilai intrinsik, risiko penipuan, volatilitas
ekstrem, dan potensi digunakan dalam aktivitas ilegal.
b. Otoritas yang Memberi Ruang dengan Syarat
Sebaliknya, sejumlah ulama dan lembaga melihat aset kripto bisa diterima secara syariah jika
memenuhi kriteria tertentu:
a. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtimaâ Ulama 2021 memutuskan bahwa kripto
haram sebagai mata uang tetapi boleh sebagai komoditas (maal mustafad) dan objek
investasi selama memenuhi syarat syariah, seperti memiliki nilai, manfaat, jelas
kepemilikannya, dan bebas dari penipuan.
b. AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions)
belum mengeluarkan larangan absolut, tetapi menekankan perlunya due diligence dan
analisis utilitas nyata dari aset digital.
c. Beberapa ulama kontemporer (misalnya dari Malaysia dan Pakistan) menilai bahwa
kripto yang memiliki fungsi utilitarianâseperti token untuk layanan blockchainâ
dapat dianggap mal syarâi.
Pendekatan ini lebih ijtihadi, melihat kripto sebagai produk teknologi yang nilai hukumnya
bergantung pada sifat dan penggunaannya.
- Sikap Regulator Keuangan Syariah
Lembaga keuangan syariah formal fokus pada aspek keamanan, perlindungan konsumen,
dan keteraturan pasar, bukan hanya hukum fiqh semata.
a. Bank Indonesia dan OJK melarang penggunaan kripto sebagai alat pembayaran, tetapi
memperbolehkan perdagangan aset kripto sebagai komoditas yang diawasi
BAPPEBTI.
b. Bank Negara Malaysia mengklasifikasikan kripto sebagai aset digital, bukan mata
uang, sehingga penerapannya dalam keuangan syariah membutuhkan penilaian kasus
per kasus.
c. Dewan Syariah Nasional di berbagai negara menekankan perlunya transparency,
disclosure, dan mekanisme anti-fraud sebelum kripto dapat diterima dalam sistem
keuangan syariah.
Regulator menempatkan fokus pada stabilitas sistem dan perlindungan masyarakat, terutama
dari risiko pasar yang terlalu spekulatif.
- Pola Umum dalam Fatwa dan Regulasi
Dari pandangan otoritas global dan nasional, dapat disimpulkan beberapa titik temu:
a. Kripto tidak diakui sebagai mata uang dalam sistem syariah maupun regulasi modern
karena tidak memenuhi syarat stabilitas dan dukungan otoritas.
b. Sebagai komoditas, kripto dapat diterima dalam batasan yang ketat: memiliki manfaat,
transparansi, jelas kepemilikan, dan tidak digunakan untuk spekulasi ekstrem.
c. Ulama menekankan edukasi dan mitigasi risiko, mengingat banyak masyarakat
berinvestasi tanpa memahami teknologi dan risikonya.
d. Ijtihad masih berkembang, sehingga sikap otoritas dapat berubah seiring perkembangan
teknologi blockchain dan regulasi pasar yang lebih kuat.
Aset Digital yang Lebih Sesuai Syariah
Tidak semua aset digital dinilai sama dalam perspektif hukum ekonomi syariah.
Penilaian syariah sangat bergantung pada fungsi, manfaat, transparansi, serta tingkat spekulasi
sebuah aset. Dengan demikian, sejumlah aset digital dianggap lebih dekat dengan prinsip
syariah dibandingkan yang lain, terutama ketika memiliki utilitas nyata, nilai yang jelas, serta
mekanisme transaksi yang etis.
- Crypto Asset Berbasis Utilitas (Utility Tokens)
Utility token adalah aset digital yang memberikan akses pada suatu layanan atau fitur
dalam ekosistem blockchain. Nilainya tidak semata-mata bergantung pada spekulasi pasar,
tetapi pada fungsi nyata yang melekat.
Contoh karakteristik yang sesuai dengan prinsip syariah:
a. Digunakan sebagai tiket akses ke platform, aplikasi, atau layanan tertentu.
b. Memiliki use-case jelas, sehingga tidak sekadar diperjualbelikan untuk mencari selisih
harga.
c. Transparansi mekanisme dan tokenomics dapat diverifikasi publik.
Utility token dapat mendekati kategori mal mustafad karena manfaatnya konkret, bukan
sekadar abstraksi spekulatif.
- Aset Digital Berbasis Proyek Riil (Asset-Backed Tokens)
Jenis aset digital ini didukung oleh atau mewakili kepemilikan pada aset nyata seperti
komoditas, logistik, real estat, atau proyek produktif.
Karakteristik yang membuatnya lebih sesuai syariah:
a. Ada nilai riil yang mendasari token tersebut.
b. Representasi kepemilikan jelas dan dapat diaudit.
c. Risiko lebih terkendali karena aset penjamin bersifat fisik atau produktif.
Aset seperti komoditas tokenized (misalnya token emas atau perak) lebih mudah diterima
karena konsepnya mirip dengan akad kepemilikan barang berharga.
- Stablecoin dengan Dukungan Aset Nyata
Stablecoin yang dijamin oleh aset riil seperti fiat, emas, atau surat berharga berpotensi
lebih stabil dan menghindari gharar yang ekstrem.
Syarat agar sesuai syariah:
a. Cadangan aset benar-benar ada, jelas, dan diaudit.
b. Tidak digunakan untuk transaksi spekulatif berisiko tinggi.
c. Penyedia stablecoin transparan dalam laporan bulanan (proof of reserve).
Stabilitas harga membantu mengurangi unsur maisir dan meningkatkan keadilan dalam
transaksi.
- Digital Securities (Security Tokens) yang Transparan
Security token yang mewakili saham, obligasi syariah, atau kepemilikan proyek tertentu
dapat diterima jika struktur underlying-nya sesuai syariah.
Contoh kriteria:
a. Perusahaan atau proyek bebas dari aktivitas non-halal (riba, alkohol, judi, dsb.).
b. Mekanisme bagi hasil (profit-sharing) atau kepemilikan riil jelas.
c. Tidak ada manipulasi, insider trading, atau ketidakjelasan nilai.
Security token semacam ini sejalan dengan upaya modernisasi sukuk dan instrumen investasi
halal.
- NFT Berbasis Karya atau Aset Berwujud
Non-Fungible Token (NFT) dapat diterima jika mewakili hak kepemilikan intelektual
atau barang tertentu yang dapat digunakan atau memiliki manfaat.
Contoh yang lebih sesuai syariah:
a. NFT yang mewakili kepemilikan karya digital yang dapat dijual atau dilisensikan.
b. Sertifikat digital untuk barang fisik, ticketing, atau keanggotaan.
Yang dilarang adalah NFT yang diperdagangkan murni untuk spekulasi harga atau tidak
memiliki nilai manfaat.
Ciri-Ciri Umum Aset Digital yang Sesuai Syariah
Secara umum, aset digital dapat lebih mudah diterima syariah apabila memenuhi beberapa
prinsip berikut:
a. Memiliki manfaat (utility) yang jelas dan bukan sekadar objek spekulasi.
b. Transparan dalam informasi harga, risiko, dan mekanisme kepemilikan.
c. Didukung oleh aset atau proyek riil, atau minimal memiliki ekosistem yang berguna.
d. Tidak bersifat gambling-like, yaitu volatilitas ekstrem tanpa nilai fundamental.
e. Bebas dari penipuan, manipulasi, serta praktik gharar dan maisir yang berlebihan.
f. Stakeholder memahami risiko, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan karena
ketidaktahuan.
(Zamzamil Fikri Mahasiswa Magister Hukum Ekonomi Syariah Universitas Wahid
Hasyim)