Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) menyelenggarakan Ujian Terbuka Promosi Doktor Pendidikan Agama Islam (PAI) untuk dua kandidat, Kamis (24/7/2025). Acara ini berlangsung di Kampus II Unwahas, Jalan Raya Gunungpati KM 15, Nongkosawit, Kota Semarang, dan dipimpin langsung oleh Dekan FAI, Dr. H. Iman Fadilah, MSI. Keduanya tercatat sebagai doktor ke-17 dan ke-18 yang dihasilkan oleh Program Studi Doktor PAI sejak resmi dibuka pada 2017.
Kandidat pertama, Dr. Khotimah Suryani, mempertahankan disertasi dengan topik pemberdayaan perempuan kaitannya dengan pembaharuan pondok pesantren. Wakil Rektor I Universitas Universitas Islam Darul Ulum Lamongan tersebut menggali pemikiran KH. Soefyan Abdul Wahab ulama, pengasuh pondok Pesantren Matholi’ul Anwar.
Studi atas pemikiran KH. Soefyan, yang mulai memimpin Pesantren Matholi’ul Anwar Lamongan pada tahun 1935 di usia yang masih sangat belia, dilakukan Khotimah dengan sangat dalam. Ia menemukan fakta bahwa pesantren yang inklusif dan responsif gender itu bukan fenomena baru, ia ada dan cukup mengakar.
Menurut Khotimah, model pendidikan pesantren berbasis Islam Nusantara menegaskan bahwa ulama memiliki peran strategis dalam pemberdayaan perempuan. “Untuk itu diperlukan model kepemimpinan yang kolaboratif antara Kyai-Nyai dalam sistem pendidikan responsif gender itu,” Khotimah menjelaskan. Penegasan ini, lanjut Khotimah menjadi lebih kokoh ketika ditopang oleh integrasi antara nilai-nilai yang bersifat lokal dan nasional.
Sementara itu, Dr. Ahmad Munadirin memaparkan hasil penelitiannya tentang variasi model pendidikan karakter di pesantren di Jawa Tengah. Munadirin yang juga menjabat sebagai Ketua Program Studi PAI Sekolah Tinggi Islam Kendal (STIK), memetakan dengan skematis pola pendidikan karakter yang tergambar dari tiga institusi pesantren.
“Karakteristik pertama adalah pesantren yang melakukan internalisasi nilai-nilai Klasik Islam,” Munadiri memaparkan. Pembelajaran kitab kuning, imbuh Munadirin, menjadi dasar bagi pembentukan karakter. Pesantren ini berkontribusi pada pembentukan akhlak yang berasal dari sumber-sumber bacaan klasik tersebut.
Pesantren lain berfokus pada penguasaan bahasa asing (Arab dan Inggris). Pesantren ini, memanfaatkan bahasa sebagai medium internalisasi nilai moral. Kedisiplinan, kreativitas dan pribadi yang komunikatif dibentuk oleh pembiasaan berbahasa asing ini. Pesantren dengan kategori terakhir memiliki kreasi yang berbeda dalam pembentukan karakter, yakni penanaman spiritualitas melalui praktik sufisme. Pendekatan ini dilakukan untuk membentuk pribadi yang tidak hanya religius secara individual tetapi juga peduli sosial.
Dekan FAI, Dr. H. Iman Fadilah, MSI., menyampaikan bahwa studi-studi tentang pesantren memiliki peran penting dalam memperkaya khazanah keilmuan Islam Nusantara. “Pesantren bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga simpul peradaban Islam yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal. Kajian seperti ini menegaskan bahwa Islam Nusantara tumbuh melalui pemikiran-pemikiran progresif yang tetap berpijak pada tradisi,” ujarnya.
Prodi S3 PAI dengan konsentrasi Pendidikan Islam Nusantara, tambah Iman, menjadi mozaik dalam kajian-kajian Islam Kenusantaraan, sehingga khazanah pemikiran, karya, manuskrip dan peninggalan para ulama bisa menjadi objek kajian yang sangat menarik dan strategis. Menutup sidang, Iman berpesan bahwa ke depan, akan lahir para doktor dengan kapasitas yang mumpuni dalam menelaah keilmuan dan keulamaan di nusantara.
Selain Iman, Sidang tersebut dihadiri para promotor dan penguji antara lain Prof. Dr. H. Mahmutarom HR, SH., MH., Prof. Dr. H. Mudzakkir Ali., Prof. Dr. Mahfud Junaedi., Dr. Nur Cholid., Dr. Nanang Nurcholis, Dr. Sari Hernawati dan Dr. Ifada Retno Ekaningrum yang juga Kaprodi Program Doktor FAI.